kalo ada yang baca coba tebak ini siapa aja yang saya maksud? *smirk* Lagian emang ada yang mau baca *shot* oke, enjoy my story yang abal, eh btw, belom kelar ci,, muakakakka..yasudahlah yang penting mau saya publish dulu, hoho.
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Please." Ucapnya terengah.Tersengal. Nafasnya putus-putus, jemarinya berusaha digerakkan untuk menggapaitangan manusia lain yang ada di ruangan tersebut. Untuk meyakinkan namun betapapun dia mencoba, bergerak sejauh 1 inchi pun tidak. Yang satu lagi hanya diam tak bergeming, otaknyasedang berpikir keras, sedangkan benaknya berusaha menahan pilu. Siapakah orangyang tak berhati yang dapat menolaknya? Tidak ada, begitu pula dirinya. Tapimelihat kondisinya, tak mungkin apabila dia bertahan, tidak tak mungkin. Pasienyang ada di hadapannya tak mungkin bertahan selama itu. Dua belas jam lagi diaakan meninggal, didoakan, dikubur dan selesai dan harusnya dia sekarang sudahtidak bertahan. Mulutnya berucap syukur kepada Tuhan dikarenakan keajaiban yangdiberikan-Nya lewat sahabatnya untuk bertahan selama tiga hari, hingga detikini. Padahal sang maut harus telah menjemputnya saai insiden itu berlangsung.
"Tenanglah." Ujarnya menghela napas sejenak. "Dia akan datang." ucapnyaparau, membarkan sebutir demi butir lelehan jatuh dari kristal hitamnya.Harusnya dia tegar, mengatur emosinya, memakai topengseperti yang dilakukanuntuk pasien-pasien yang lainya yang sekarat, namun dia tak bisa. Tidak kaliini. Memakai topeng untuk membiarkan sahabatnya pergi dengan tenang? Well,alasan logis tetapi tidak. One last memory, biarkan dia membuka topengnya kaliini. Untuk menghormati detik-detik terakhir hidup sang sahabat.
"Begitu?" dengan susah payah dia menarik kedua ujung bibirnya,melengkungkan senyum. "Terima kasih, Sofia. Aku menyusahkanmu." Ucapnya lemah,nafasnya memburu, makin pendek. Sang malakat maut akan menjemputnya kurang daridua belas jam.
"Kau bodoh!" ucap Sofia tiba-tiba. Lelehan yang berasal dari kristalhitamnya menderas, menetes jatuh ke dalam balutan kain yang membungkustangannya.
"Yes, I am. Always." Ucapnya lemah, mencoba tersenyum dengan susah payah.
"Sudah kubilang, kondisimu lemah.Kenapa kau begitu nekat? Kau sungguh bodoh, Julia" ucapnya kesal. Sepersekianmenit amarah menguasainya, badannya sedikit bergetar. Baru kali ini dia benar-benar marah terhadapsahabatnya. Kabur demi bertemu sang kekasih? Hal tertolol yang pernah dilakukansahabatnya. Julia bergeming, diam. Kristal safirnya menatap mutiara hitamnya,seakan ingin berkomunikasi eyes to eyes. Sofia mendengus kesal. "Lihat dirimusekarang. Kau tahu? Kurasa ini membunuhnya." ujarnya sedikit frustasi.
Hening lama. Udara semakn dingin. Fakta bahwa di luar hujan, menurunkansuhu yang berada di ruangan tersebut. Dengan cekatan, Sofia memanggil suster,menyuruhnya untuk mengambil beberapa helai untuk sahabat yang agak bergetarkedinginan, juga karena tangisnya dalam diam.
"Sofia." Ujarnya. Tangisnya sudah berhenti.
"Ya?" sahutnya.
"Tolong lagi bisa?" ucapnya terbata. Wajahnya memucat.
"Apapun. Ada apa?" ujarnya khawatir. Kondisinya makin parah. Tuhan,batinnya.
"Bisa tolong ikatkan kalung itu dipergelangan tangan kananku. Aku inginmemakainya di detik-detik terakhirku." dia menangis lagi.
Fokus Sofia beralih kepada sebuah kotak mungil berwarna hitam. Membukanyaperlahan. Sebuah rantai dengan cincin emas putih sebagai bandul, tampak elok.Berpendar, menunjukkan kilaunya saat tertimpa kilaunya cahaya lampu dalamruangan. Tangannya lalu memasangkannya di pergelangan tangan Julia denganhati-hati, takut melukainya. Sudah cukup dengan patahan sana sini yang menyiksatubuh mungil Julia, diperban sana sini seperti mumi. Orang yang menunggu ajalsambil menunggu kekasihnya dengan sabar. Menginginkan kekasih yang dicintaidalam detik terakhir hidupnya. Entah bisa atau tidak, dia sudah mencobamenghubungi. Namun sang kekasih gadis tersebut, tak bisa dihubungi.Pekerjaannya yang menghalanginya untuk dihubungi.
Lalu pintu dibuka perlahan, seorang suster masuk membawakan beberapa helaiselimut tebal. "Ini Dok, yang ada minta. Dokter Eva memanggil, sepertinya diaperlu bantuan untuk operasi di bangsal satu." ujarnya sopan. Lalu dengancekatan, tangannya menaruh selimut itu untuk Julia. Berharap agar dia merasasedikit hangat.
"Baiklah. Julia, jangan berbuat bodoh, okay? Panggil aku kalau kau meminta bantuan." ucapnyasambil berjalan ke pintu keluar. Memandang sosok sahabatnya dalam pandangan yang getir.
"So—fi" sahutnya lagi, terbata, air mata masih menggenangi kedua buah pipinya.
"Ya" sahutnya.
"Pastikan aku tetap hidup, sebelum bertemu Dion, okay. Promise me."
Menghela napas. "Aku dokter, Julia. Aku bukan Tuhan. Bertahanlah saja sebisamu, okay?" suaranya parau. Dia tahudia tak punya kuasa, namun dia tak ingin memberikan terlalu banyak harapan.
"Thanks." Ucapnya lemah. Matanya memandang keluar jendela, di luar hujan. Sama hal nya dengan waktuitu. Terakhir kali dia berkencan dengan Dion.
-----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Sweetheart." Dion tersenyum.
Gadis itu kembali dalam kesadarannya, tadi dia melamun. Cukup lama,sehingga Dion sekarang nampak khawatir walau ia tersenyum.
"Ya, honey ada apa?" ucapnya, dia tersenyum.
"Ada apa? Wajahmu memucat." Ucapnya khawatir. Tangannya menggenggam tanganJulia.
"Tidak, I'm okay." Ujarnya sedikit berbohong, berusaha meyakinkan Dion. Walau di satu sisi, dia ingin menceritakanapa yang terjadi.
"Begitu? Yasudah, cepat habiskan makanmu lalu kita pulang. Sudah malam,lagipula hujan." ucapnya seraya matanya melihat ke arah balkon luar restoran tersebut.
"Sudah ya? Aku kenyang, maaf." ucapnya. Porsinya masih tersisa setengahbagian, tererutama salad yang teronggok dalam satu sudut piring milik Julia.Dion menghela nafas, dia sudah terbiasa dengan kelakuan Julia yang sama sekalitak menyukai sayur-sayuran.
"Baiklah kita pulang. Tak apa kalau kau memang sudah kenyang. Tak usah dipaksakan." Dion mengusap kepalanya perlahan, memainkan helai ikal sang gadis.Bangkit berdiri lalu menggenggam tangan sang gadis lalu pergi keluar.
Sepanjang perjalanan Julia terus-terusan menghela napas dan melamun. MembuatDion sedikit kesal karena apa yang ditanyakan dan diucapkannya harus kembalidiulangi demi mendapatkan respon sang gadis. Akhirnya Dion lebih memilih diam,menyetir dengan konsentrasi penuh. Hujan deras membuat kaca Mazda nya berembun.Juga membuatnya harusmenyetir dengan hati-hati. Bersama dengan Julia membuatnya lebih hati-hati. Lainhalnya kalau dia menyetir seorang diri, sudah sedari tadi dia mengebut danmenyalip mobil sana sini. Setelah setengah jam berlalu, mereka tiba di rumahJulia.
"Honey, sudah sampai."
Julia bergeming, matanya menatap jendela yang ada di sampingnya.
"Sweetheart, hey kita sudah sampai."ujar Dion mengulang. Kali inidisentuhnya dengan lembut kedua pipi sang gadis. Mengusapkan sekilas bibirnyake dalam leher sang gadis. Menggelitiknya sedikit, biasanya sang gadis akantertawa dan membalas menggelitiknya. Namun respon sang gadis hanya menggumandan menoleh ke arahnya.
"Aku tahu kok." Menghela napas. "Sampai jumpa, Dion." Ucapnya seraya meraihpintu pembuka mobil. Namun tertahan oleh tangan kiri Dion.
"Ada masalah?" ujarnya menautkan kedua alisnya. Secepat kilat sang gadis menggeleng. "Cerita,please—" jeda sebentar, helaan napas.
"Aku nggak suka kamu seharian initerus-terusan mengacuhkanku. Do i something wrong Julia?" ujarnya memburu.Menatap kedua orang yang dicintainya dengan perasaan agak kesal. Berusaha meraih sang gadis ke dalampelukannya.
"Honey, besok." sang pria menggumam, mempersilahkan sang gadis untukmeneruskan omongannya. "Apakita bisa bertemu lagi?" ucapnya datar.
"Eh? Aduh besok kan aku sudah bertugas Julia. Aku sudah bilang kan sayang?"ucapnya mengecup kening Julia sekilas.
Julia melonggarkan pelukannya. Melepaskannya, menatap mata Dion. "Oh jadi, ini pertemuan terakhir kita?"ujarnya sedih. Badannya sedikit bergemetar.
"Maaf, kau kan tahu kita tak bisa bertemu setiap saat. Ingat pekerjaanku rite? Aku tidak bisasesuka hati pergi meninggalkan tugasku sayang." ucapnya panjang lebarmemberikan penjelasan lebar. Tangannya menyentuh pipinya dengan lembut. Sesuatuyang dilakukannya untuk meyakinkan sang gadis. "Kenapa kau berpikir-pikirseolah kita tidak pernah akan bertemu lagi sih." kali ini dia mencubit pipisang gadis dengan gemas. Tersenyum menatapnya.
"Memang kan? Bagaimana kalau aku mati besok?" ujarnya sedih. Sorot matanya kelam.
Senyuman Dion memudar, sepersekian setik kemudian dia mulai kesal. Apa-apaan sih tunangannya ini? Berkata-katayang tidak begitu., batinnya. "Julia tolong, aku tidak suka kau berkataseperti itu. Tidak tolong. Mengertilah aku tak sanggup membayangkannya. Tidak, kita harus menikah dulu, mempunyaitiga anak, menjadi tua, beruban dikelilingi cucu kita." ujarnya panjang lebar.Menepis bayangan yang tidak-tidak dalam benaknya.
"Tapi bagaimana jika—?" dengan cepat Dion mengecup bibirnya dengan cepat.Tidak, dia tak ingin mendengar hal-hal mengerikan macam kematian dari bibirsang tunangan.
"Kau lelah, Julia. Kau butuh istirahat." ujarnya seraya mengelus kepala Julia dengan lembut.
"Give me a deep hug say you loveme, Dion." Ucapnya nanar sambilmenatap Dion. Dion segera memeluknya lembut selama beberapa menit, mengucapkan "I love you" berulang kali untuk menenangkan gadis tersebut.
----------------------- -------------------------------------------------------------------------------------------------------
"Bagaimana Sofia?" ujarnya. Romannya gelisah. Berbaring menunggu hasil pemeriksaan.
"Kau harus beristirahat di sini selama beberapa hari. Entahlah, kurasa kauharus menjalani beberapa medical check-up."
"Aku BAIK-BAIK saja,tidak aku tak perlu beristirahat di sini." ujarnya buru-buru bangkit. Sofiamenarik tangannya, menyuruh untuk berbaring lagi. "Kau tak meminum obatnyaJulia. Jangan salahkan aku kau harus menginap di sini untuk beberapa hari."ucapnya kesal.
"Kondisimu memburuk belakangan, jangan bodoh! Muntah darah selama beberapahari terakhir, sesak napas ketika menjelang tidur, sering pingsan. Apa itu yangnamanya sehat Julia." ucapnya kesal.
"Tidak. Aku baik-baik saja. Izinkan aku pulang, please." ucapnya memohon.
"Tidak maaf. Aku dokter yang bertanggung jawab di sini. Menyuruh pulangsama saja dengan membunuhmu. Dan itu melanggar kode etikku sebagai dokter, ok?"ucapnya sambil menyuntikkan obat penenang.
"Aku akan mati kan? Benar? Sudahlah, biarkan aku pulang. Tak ada gunanyamengurusi orang yang akan mati, Sofia."
"Tidak, kau tidak akan mati sekarang. Sekarang tidurlah, aku sudah memberiobat penenang."
"Tidak akan mati sekarang katamu? Yeah, dua tahun lagi lalu dipercepatdengan kondisi tubuhku yang tak menentu." dirinya terkekeh sekarang. Semuanya,semuanya hancur sudah. Tak ada pernikahan, tak ada. Dirinya begitu tololmerencanakan masa depannya Harapannya. Dion, kemana kekasihnya saat diamembutuhkannya?